Senin, 23 Desember 2013

Wanita Malam (Budaya Fajar, Ahad 22 Desember 2013)


Keheningan malam adalah kenyamanan yang berbeda. Tidak ada tangisan bayi. Juga rengekan sang suami. Sunyi. Hanya ada seorang wanita penjamah putih. Dengan jemari yang menari-nari. Melukis dalam cekam. Menepis cekang. Cekatan megikis jeda agar masa tak sia-sia. Dua bola mata jeli mengikuti irama jemari. Dan bibir yang masih tertutup rapat. Sang wanita malam.
***
Dari balik jendela bertiup sisa-sisa angin malam. Di balik pintu rumah sayup-sayup mahluk malam mulai tak terdengar. Celah pada dinding pun mengizinkan matahari untuk mengintip. Embun pagi sejak tadi meninggalkan dedaunan. Suara ramai mulai tercipta.
Wanita penikmat malam tak lagi duduk di depan meja. Menerbangkan imajinasi.  Sedari subuh ia sibuk ini dan itu. Membangunkan suami, menyiapkan pakain suami dan anak-anaknya, membuat sarapan dan bekal, berbenah rumah. Satu pun tidak ada yang terlewat. Hingga kadang kala debu pada jendela enggan singgah. Memilih menjauh bersama angin. Mungkin juga ia kasihan pada wanita itu.
Lalu saat suaminya telah berangkat kerja. Anak-anak berangkat sekolah, kini giliran si bayi yang meminta jatah asi. Dengan tangisan ia memanggil wanita itu. Langkah-langkah cepat terdengar. Mendekati kamar si bayi. Sepasang tangan hangat meraih manusia kecil itu. Diletakkan dalam dekapan. Kecupan kecil mendarat manis. Pertanda sayang yang tulus.
Wanita itu masih sibuk dengan bayinya. Hingga siang. Saat satu-satu anaknya pulang dari sekolah. Mengeluh lapar dan haus. Minta bantuan untuk PR-nya yang susah. Berkisah tentang kejadian seru di sekolah. Wanita itu tersenyum, mendengaran penuh cinta. Sesekali menjawab dengan bijak.
Siang berlalu cepat. Tak berbekas. Wanita dengan peluhnya kembali sibuk di dapur kebesarannya. Tahta teragung yang ia punya. Yang membesarkan namanya selama ini. Melahirkan pujian suami dan tiga anaknya. Sebagai satu-satunya wanita di rumah itu, ia cukup bangga sajiannya selalu dinikmati suami dan buah hatinya. Hingga kadang membuat iri tetangga rumahnya.
Makan malam harus segera tersaji. Seblum suaminya pulang. Agar cepat ia dan keluarganya duduk bersama. Lagi. Meperti malam-malam sebelumnya.
***
Angin malam menyapu dedaunan kering tak jauh dari rumah itu. Seperti membantu meringankan pekerjaan wanita itu esok hari. Di atas sana langit tampak bercahaya. Satu bulan penuh dilengkapi ribuan bintang bergelantungan indah.
Seharian mengurusi keluarga nyatanya tidak membuat wanita itu lelah. Kembali ia melukis di atas malam yang sepi. Mengisahkan kejadian-kejadian yang ia lalui siang tadi. Melanjutkan proyek yang ia garap bersama wanita-wanita yang tak jauh beda dengannya. Sebuah mimpi yang juga tengah diperjuangkannya. Untuk kepuasannya.
Sebagai wanita yang telah berumah tangga tentu merupakan kewajiban baginya menyelesaikan segala tugasnya. Tapi saat malam hari, terlebih saat semua anggota keluarganya terlelap wanita itu kan terbangun dengan sendirinya. Sudah sejak muda ia menekuni dunia aksara. Dan itu tidak akan ia tinggalkan. Walau kini jatah berkaryanya berkurang, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak brhenti.
“Mereka sama sepertiku, para ibu rumah tangga yang terus berkarya. Mengukir sejarah. Mengabadikan diri mereka, kenapa aku tidak?” ucapnya pada diri sendiri.
Dengan cepat jemarinya menekan satu-satu tombol keyboard. Wanita itu ingin menyelesaikan satu kisah malam ini.
***
“Bu Nur tidak bosan di rumah terus?” seorang ibu menyapanya ketika tengah berbelanja di pasar.
“Bosan gimana, Bu?” jawab wanita itu dengan tanya juga.
“Ya itu, masa tiap hari di rumah saja. Kenapa tidak minta diajak jalan-jalan sama suaminya? Apa lagi sebentar lagi musim liburan anak-anak.”
“Ibu ini gimana toh, justru kalau di rumah malah banyak yang bisa saya kerjakan. Sampai-sampai saya kadang tidak sadar kalau sudah hampir malam lagi,” ucap wanita itu sambil memilih sayur yang bagus.
“Ibu ini bisa saja. Tapi saya salut loh sama Bu Nur, ngga banyak nuntutnya.” Wanita yang dipanggil Bu Nur itu tersenyum.
“Oh ya Bu, ini saya ada hadiah buat ibu. Siapa tahu bisa bermanfaat.” Wanita itu menyerahkan sebuah buku dengan sampul hijau.
“Apa nih Bu Nur?”
Wanita itu kembali tersenyum. Tidak menjawab. Ia lantas berlalu. Buku yang baru saja berpindah tangan itu dibaca oleh pemilik barunya. Ibu tersebut kaget saat membaca namaa penulis buku itu. Nur Hidayah.(*)

Nahlatul Azhar
Untuk mereka: ibu rumah tangga yang tak lelah berkarya (BaW)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)