Jumat, 15 November 2013

Tunggu Aku, Ran!


Oleh: Nahlatul Azhar
*Cerita miniku yang ke-2 dimuat koran harian Faar (KeKeR)
Zian. Awalnya aku pikir ia menaruh hati padaku. Dengan perhatiannya padaku yang kadang jatuh kala berlebihan. Pernah suatu hari ia mengikutiku seharian setelah aku ceritakan bahwa ada yang mengikutiku hari sebelumnya. Awalnya aku tak tahu bahwa ia mengikutiku, tapi karena sempat aku yang gegabah terjatuh dengan cepat seseorang menolongku. Tak lain orang tersebut adalah Zian.
Di lain waktu saat aku dirawat di rumah sakit, ia ikut-ikutan tidak masuk sekolah demi menjagaku. Dan masih banyak lagi perhatiannya yang membuatku tersanjung. Tapi hanya sebatas itu, karena tak sekali pun ia menyatakan cintanya. Sebaliknya ia malah terus berdalih “Kita sahabat sejati.” Andai ia tahu aku berharap lebih.
“Ran!” Itu dia suara Zian, “lama ya?” lanjutnya saat sudah berdiri di hadapanku.
“Ngga kok,” jawabku dengan wajah masam.
“Heheh ... tahu sendiri bagaimana Pak Roman kalau mengajar. Lupa waktu mulu. Mana tadi ngasih tugas susah sekali.” Kalau sudah gini mana bisa aku marah lagi. Wajah Zian saat memelas itu lucu banget. Mukanya yang putih sedikit memerah.
“Iya, iya. Eh mau ngapain sih sampai harus nungguin kamu pulang. Mau hujan nih.”
“Rahasia. Yuk ... ada yang ingin aku perlihatkan padamu,”  ucapnya sambil menarik tanganku.
Aku mengikuti langkah Zian. Langkahnya sangat cepat hingga aku harus berlari-lari mengikutinya.
“Tunggu! Sekarang kamu tutup mata dulu,” perintah Zian dengan wajah serius.
“Apaan sih?  Mau hujan, harusnya kita cepat pulang.”
“Hey, lakukan saja. Setelah itu baru kita pulang!”
Aku pun mengiikuti permintaannya. Kututup kedua mataku rapat-rapat.
“Jangan sampai ngintip!” Kali ini kubiarkan Zian menuntunku berjalan. Agak lama juga sebab jalanannya kecil, dan harus dilalui oleh dua orang. Genggaman tangannya tetap hangat seperti biasa.
“Oke, sekarang buka matamu.”
Kubuka mataku perlahan. Takjub seketika aku rasakan saat melihat hamparan bunga kecil di hadapanku. Taman dengan panjang hampir dua meter itu dipenuhi bunga yang telah bermekaran. Indah sekali.
“Bagaiman? Kamu tersentuh?” tanya Zian menggodaku.
“Indah sekali. Ini kamu yang buat?”
“Tentu saja. Memang kamu pikir siapa lagi. Ngga ada kan sahabat sebaik aku?” Aku tersenyum. Sahabat! Tetap saja itu yang ia katakan.
“Zian, apa ... “ kalimatku terputus, mungkin memang saatnya aku beranikan diri untuk bertanya, “apa selamanya kita hanya akan jadi sahabat?”
“Maksudnya?”
“Apa kamu ... tidak punya perasaan lebih padaku?” Tanyaku.
“Ran, kita sudah pernah membahas ini. Dan jawabanku tetap sama, aku tidak bisa,” jawab Zian. Ada guratan sedih di wajahnya yang tidak aku mengerti.
Hujan benar-benar turun sekarang, tak tanggung-tanggung langsung mengguyur bumi. Bersama jatuhnya air mataku. Sesak memenuhi perasaanku. Zian menarik tanganku menjauh dari taman kecil itu.
***
Taman ciptaan Zian semakin indah. Bunga-bunga kecil yang dulu diperlihatkan padaku kini tumbuh subur. Sayangnya sang pembuat taman kecil ini tidak melihatnya. Bersamaku. Dia pergi ... dan entah sampai kapan.
Ran ...
Saat surat ini sampai ke tanganmu itu artinya aku telah berada jauh. Bukan berarti aku meninggalkanmu. Tidak! Justru aku ingin terus bersamamu. Aku sakit parah, Ran. Itu juga alasan aku tak ingin menerima perasaan darimu atau lebih tepatnya mengungkapkan perasaanku padamu. Aku takut pada ahirnya ‘kan pergi meninggalkanmu. Aku ingin berjuang demi kamu. Itu juga yang jadi alasan mengapa aku pergi saat ini. Untuk menangkat penyakitku ini.
Ran, aku menyukaimu. Maaf karena tak mampu mengungkapkannya langsung padamu. Aku janji akan kembali. Tunggu aku, Ran.
Yang ingin bersamamu.
Zian.(*)
Makassar, 31 juli 2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)