Oleh: Nahlatul Azhar
Zian. Awalnya aku pikir ia menaruh hati padaku. Dengan perhatiannya
padaku yang kadang jatuh kala berlebihan. Pernah suatu hari ia mengikutiku
seharian setelah aku ceritakan bahwa ada yang mengikutiku hari sebelumnya.
Awalnya aku tak tahu bahwa ia mengikutiku, tapi karena sempat aku yang gegabah
terjatuh dengan cepat seseorang menolongku. Tak lain orang tersebut adalah
Zian.
Di lain waktu saat aku dirawat di rumah sakit, ia ikut-ikutan tidak masuk
sekolah demi menjagaku. Dan masih banyak lagi perhatiannya yang membuatku
tersanjung. Tapi hanya sebatas itu, karena tak sekali pun ia menyatakan
cintanya. Sebaliknya ia malah terus berdalih “Kita sahabat sejati.” Andai ia
tahu aku berharap lebih.
“Ran!” Itu dia suara Zian, “lama ya?” lanjutnya saat sudah berdiri di
hadapanku.
“Ngga kok,” jawabku dengan wajah masam.
“Heheh ... tahu sendiri bagaimana Pak Roman kalau mengajar. Lupa waktu
mulu. Mana tadi ngasih tugas susah sekali.” Kalau sudah gini mana bisa aku
marah lagi. Wajah Zian saat memelas itu lucu banget. Mukanya yang putih sedikit
memerah.
“Iya, iya. Eh mau ngapain sih sampai harus nungguin kamu pulang. Mau
hujan nih.”
“Rahasia. Yuk ... ada yang ingin aku perlihatkan padamu,” ucapnya sambil menarik tanganku.
Aku mengikuti langkah Zian. Langkahnya sangat cepat hingga aku harus
berlari-lari mengikutinya.
“Tunggu! Sekarang kamu tutup mata dulu,” perintah Zian dengan wajah
serius.
“Apaan sih? Mau hujan, harusnya
kita cepat pulang.”
“Hey, lakukan saja. Setelah itu baru kita pulang!”
Aku pun mengiikuti permintaannya. Kututup kedua mataku rapat-rapat.
“Jangan sampai ngintip!” Kali ini kubiarkan Zian menuntunku berjalan.
Agak lama juga sebab jalanannya kecil, dan harus dilalui oleh dua orang.
Genggaman tangannya tetap hangat seperti biasa.
“Oke, sekarang buka matamu.”
Kubuka mataku perlahan. Takjub seketika aku rasakan saat melihat hamparan
bunga kecil di hadapanku. Taman dengan panjang hampir dua meter itu dipenuhi
bunga yang telah bermekaran. Indah sekali.
“Bagaiman? Kamu tersentuh?” tanya Zian menggodaku.
“Indah sekali. Ini kamu yang buat?”
“Tentu saja. Memang kamu pikir siapa lagi. Ngga ada kan sahabat sebaik
aku?” Aku tersenyum. Sahabat! Tetap saja itu yang ia katakan.
“Zian, apa ... “ kalimatku terputus, mungkin memang saatnya aku beranikan
diri untuk bertanya, “apa selamanya kita hanya akan jadi sahabat?”
“Maksudnya?”
“Apa kamu ... tidak punya perasaan lebih padaku?” Tanyaku.
“Ran, kita sudah pernah membahas ini. Dan jawabanku tetap sama, aku tidak
bisa,” jawab Zian. Ada guratan sedih di wajahnya yang tidak aku mengerti.
Hujan benar-benar turun sekarang, tak tanggung-tanggung langsung
mengguyur bumi. Bersama jatuhnya air mataku. Sesak memenuhi perasaanku. Zian
menarik tanganku menjauh dari taman kecil itu.
***
Taman ciptaan Zian semakin indah. Bunga-bunga kecil yang dulu
diperlihatkan padaku kini tumbuh subur. Sayangnya sang pembuat taman kecil ini
tidak melihatnya. Bersamaku. Dia pergi ... dan entah sampai kapan.
Ran ...
Saat surat ini sampai ke
tanganmu itu artinya aku telah berada jauh. Bukan berarti aku meninggalkanmu.
Tidak! Justru aku ingin terus bersamamu. Aku sakit parah, Ran. Itu juga alasan
aku tak ingin menerima perasaan darimu atau lebih tepatnya mengungkapkan
perasaanku padamu. Aku takut pada ahirnya ‘kan pergi meninggalkanmu. Aku ingin
berjuang demi kamu. Itu juga yang jadi alasan mengapa aku pergi saat ini. Untuk
menangkat penyakitku ini.
Ran, aku menyukaimu. Maaf
karena tak mampu mengungkapkannya langsung padamu. Aku janji akan kembali.
Tunggu aku, Ran.
Yang ingin bersamamu.
Zian.(*)
Makassar, 31 juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)