“Halo, dengan Ge?” (Na sambil nelvon)
“Iya, ada apa Na?
“Hikz ... penyakitku kambuh.”
“Sakit? perasaan tadi siang kamu masih sempat bercanda deh.”
“Itu ...”
“Apa?”
“Anu ...”
“Na?”
“Ya ...”
“Kamu habis nangis?”
“Kok tahu?”
“Iyalah, suaranya serak gitu.”
“Huhuhu ...”
“Aduh Na, ada apa?”
“Ge, aku pengen nyudahin semuanya!”
“Na! Istigfar deh. Jangan aneh-aneh gitu ah. Aku merinding nih. Jangan
ke dapur! Jangan ke loteng rumah kamu! Jangan ke jalan raya! Jangan ...”
“Ngapain ke dapur, ke loteng sama jalan raya?”
“Ke dapur ngambil pisau, ke loteng buat loncat, ke jalan raya buat
nabrakin diri.”
“Ikh ... ngga ada yang bagusan dikit apa? Semuanya kok pada horor sih?
Bukan saran kan Ge?”
“Sudah dibilangin jangan! Jangan itu bukan saran tapi larangan. Aduh
Na, kamu patah hati gitu tambah ngga nyambung bin aneh deh.”
“Maklum, gundah gulana, galau bin gila, aneh tapi nyata tengah
menyerang.”
“Makanya pake benteng Na. Biar pas diserang bisa ngelawan. Kalau perlu
bawa tombak juga, perang deh.”
“Ge ... sadar ngga?”
“Sadar apa?”
“Sadar kalau kamu juga sama anehnya denganku!”
“Kita kan sehati, Na.”
“Tapi Ge, kok sehatiku sama kamu mulu sih. Kapan dapat jodohnya kalau
gitu. Kan ngga mungkin juga kita yang jodoh kan?”
“Mulai deh.”
“Bener loh Ge.”
“Kita juga jodoh tau!”
“Hah?!?” (syok)
“Jodoh dalam persahabatan.” (sambil senyum)
”Iya. Aku bersyukur sih kamu bukan laki-laki. Coba kalau iya, bisa
jatuh hati aku.”
“Huss! Aneh lagi tuh.”
“Serius! Atau aku belok aja kali yah?”
“Na!!!”
“Hehehe... aku norkmal kali, Ge. Saking normalnya makanya dapat
sakitnya mulu.” (mulai terisak lagi)
“Na ...”
“Ya ...”
“Andai aku dia ...”
“Hah?”
“Kan kuseka air matamu?”
“Hah?!” (Syok berat)
“Kupinjamkan bahuku untukmu bersandar.”
“Ge, kamu ...”
“Bahkan jika perlu kupeluk erat.”
“Ge!!!”
“Kenapa berteriak?”
“Andai kamu dia juga aku mana mau.”
“Lah kenapa?”
“Ingat, ingat bukan muhrim tau!!!”
“Hahaha ...”
“Malah ketawa lagi.”
“Iya. Kamunya normal lagi tuh.”
“Mmm, Ge ...”
“Apa?”
“Makasih ya.”
“Iya. Eh, kalau galaunya kumat nelvon aja lagi. Dijamin tak hibur
sampai
ngangkak.”
“Hehehe. Sip.”
Percakapan berakhir. Ge dan Na siap dibuai mimpi menuju hari esok.
Esok yang mungkin berbeda. Berbeda rasa.
*menulis ini serasa menjadi dua orang yang berbeda.
Setidaknya aku masih memiliki sepuluh jari yang tak menolak untuk
mewakili hati, SEMANGKA!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)