“Aku
mimpi lagi,” ucap Sean, “kali ini aku benar-benar melihat wajahku dalam mimpi.
Dan itu memang aku, Jen!” lanjutnya.
Jeny
yang duduk di sampingnya hanya bisa mendengarkan. Ia bahkan tak tahu harus
bilang apa lagi. berkali-kali ia mengatakan kalau mimpi yang dialami Sean
hanyalah bunga tidur belaka. Tapi untuk saat ini ia sendiri jadi berpikir
tentang arti dari semua mimpi laki-laki di sampingnya.
“Apa
Gea tahu?” tanya Jeny.
“Tidak.
Aku bahkan malu menceritakan mimpi-mimpi itu padanya. Aku tak ingin dia
berpikir aku laki-laki penakut yang hanya karena mimpi sampai uring-uringan
seperti ini.”
Gea
adalah kekasih Sean. Mereka jadian baru dua bulan lalu. Tapi keduanya sangat
jarang terlihat jalan berdua, malah Sean lebih sering menghabiskan waktunya
dengan Jeny. Wanita yang ia anggap sahabat.
Tentang
mimpi laki-laki itu, ia melihat seseorang dengan pakaian bagai prajurit
kerajaan tengah menghunus pedangya. Tak hanya sampai di situ, pedang yang
terhunus itu akhirnya tertancap pada perut seorang wanita dengan pakaian serba
putih. Saat pertama kali bermimpi, Sean hanya melihat kejadian itu dari jauh.
Kemudian
mimpi yang sama kembali menghampirinya. Dan dalam mimpi berikutnya ia melihat
kalau dirinyalah sang laki-laki yang menghunuskan pedang tersebut. Dua mimpi
pertama ia memang menganggapnya bunga tidur saja. tapi kemudian ia bermimpi
lagi dan lagi. Hingga ia coba menceritakan semuanya pada Jeny.
“Tapi
... hanya wajahku yang aku lihat. Entah siapa wanita yang aku bunuh itu.” Suara
Sean terdengar bergetar.
“Aku
pun tak bisa berkata apa-apa lagi,” ucap Jeniy, “kantung matamu semakin bengkak
saja ditambah warna hitam di sekelilingnya,” lanjutnya.
“Haruskah
kita ke paranormal saja?” tanya Sean. Akibat mimpi-mimpi itu ia sangat takut
tuk memejamkan mata. Jeny diam mendengar pertanyaan itu. Haruskah seperti itu? Pikirnya.
***
“Inilah
persembahanku padamu ratuku. Darah wanita ini akan menjadi bukti betapa
besarnya cintaku padamu.” Laki-laki dengan baju besinya tersebut memberi hormat
pada wanita di hadapannya.
“Baiklah!
hukumlah ia sebagaimana mestinya. Aku tidak ingin ada penghianat yang
mengacaukan istana ini. Sekalipun itu adalah temanmu sendiri,” ucap wanita yang
dipanggil ratu tadi.
“Baik
ratuku.”
Kembali
benda tajam itu keluar dari tempatnya. Berburu mangsa yang sudah disiapkan. Dan
... ces ... darah kembali mengalir.
“Tidak
... tidak ... tidaaaaaaakk!”
Teriakan
itu berasal dari kamar Sean. Ia kembali bermimpi. Mimpi yang sama, dan kembali
dengan wajahnya sebagai pembunuh, juga wajah lain yang sangat ia kenali. Wajah
kekasihnya, Gea.
***
“Apa maksudmu tidak bisa? Bukankah kemarin aku
sudah minta kamu menemaniku belanja?” ucap Gea kesal. Ia sudah berencana
membeli tas baru untuk diperlihatkan pada teman-temannya. Ia bahkan sudah
jauh-jauh hari merencanakannya dan meminta Sean mengantarnya.
“Aku
tidak bisa, Ge. Semalam aku ngga tidur, bahkan malam-malam sebelumnya juga. Aku
sangat lelah.”
“Pacar
macam apa kamu? Harusnya kamu menemaniku. Aku dengar kemarin kamu ketemu lagi
dengan Jeny.”
“Jadi
sekarang kamu memata mataiku, ha?” tanya Sean dengan kesal.
“Untuk
apa coba? Harusnya kamu bersyukur jadi pacarku dan mau jalan bareng aku. Bukan
malah bermesraan sama ... gadis kampung itu.”
“Apa?”
“Dengar
baik-baik! Kalau kamu masih mau jadi pacar aku, jangan bertemu gadis kampung
itu lagi. Paham?” ucap Gea sebelum pergi.T inggallah Sean dengan amarah yang
berkecamuk dalam dadanya.
***
Sekali
lagi mimpi buruk itu mendatanginya. Bahkan lebih sadis lagi. Dengan jelas ia
lihat pedang itu menancap di perut wanita berbaju putih. Lalu perlahan noda
darah bertebaran pada baju yang ia kenakan.
Tampak
pula wajah Sean sendIri di sana. Tersenyum namun dengan pandangan kosong. Ada
yang salah dengan wajahnya, harusnya ia tersenyum puas. Bahkan mungkin tertawa,
ia telah menjalankan tugasnya. Juga memperlihatkan betapa ia sangat kuat.
Melihat
wajahnya sendiri, ia jadi semakin yakin itu dirinya. Seorang pembunuh. Tak
tahan lagi, ia pun pandangi sosok yang kini berlumuran darah.
Jeny?
***
Pagi
itu Sean sangat terburu-buru keluar dari rumahnya. Biasanya ia akan memilih
melanjutkan tidurnya yang tertunda. Tapi hari itu ia dengan cepat menyambar
kunci motor, memacu motornya sekencang mungkin. Tujuannya satu, rumah Jeny.
Sesampainya
di sana ia dapati pintu rumah terbuka lebar. Saat berjalan masuk yang ia dapat
adalah kesunyian.
“Jen!”
teriaknya.
“Jen!
Kamu dimana?”
“Jeny!”
Nihil.
Hanya suaranya yang saling bersahutan akibat pantulan. Ia semakin tak sabar. Ia
sudah sering main ke tempat sahabatnya itu makanya ia pun tahu letak kamar
Jeny. Tanpa pikir panjang lagi ia pun naik ke lantai dua.
“Jen!”
Masih
tak ada yang menjawab panggilannya. Ia sudah berdiri di depan kamar Jeny.
Pintunya terbuka sedikit. Sean pun masuk.
“Ngapain
kamu?!” teriak Jeny, ia sangat kaget melihat kehadiran Sean apalagi dalam
kamarnya.
Bukannya
pergi, Sean malah berjalan ke arah Jeny lalu kemudian memeluknya erat. Sangat
erat.
“Kamu
ngga apa-apa kan?” tanyanya penuh kekhawatiran. Jeny mendorong tubuh Sean agar
menjauh.
“Kamu
kenapa sih. Aneh-aneh aja deh! Mana masuk kamar orang sembarangan pula, ini tuh
kamar cewek.”
Mendengar
ucapan Jeny, barulah Sean sadar akan perbuatannya. Kekhawatirannya berganti
rasa malu yang sangat.
“Aku
tunggu di bawah ya!” ucapnya lalu pergi.
“Aneh!
Ada apa lagi dengan anak itu. Kemarin ceweknya yang datang marah-marah,
sekarang dia yang datang langsung main peluk aja. Eh ... peluk?” Jeny bicara
sendiri saat Sean sudah pergi. Ia rasakan hatinya kembali bergejolak.
Butuh
lima belas menit bagi Jeny untuk menenagkan dirinya sendiri sebelum menemui
Sean. Saat berjalan ke ruang tamu pun ia
masih sempat bolak balik keluar masuk kamarnya. Tapi ia samperin juga laki-laki
yang tadi membuatnya kaget setengah mati.
“Kenapa?”
tanya Jeny sok cuek.
“Maaf,
Jen. Aku pikir kamu kenapa-kenapa. Semalam aku mimpi lagi dan ...”
“Dan
kenapa?”
“Wanita
yang aku bunuh dalam mimpiku itu adalah kamu. Karena hawatir aku langsung ke
sini. Aku kira benar terjadi sesuatu,
soalnya saat sampai tidak ada siapa-siapa. Rumah kamu juga terbuka.”
“Oh
... itu si bibi lagi belanja di depan, tadi pamit kok. Rumah ngga ditutup
paling ibu yang lupa, lagi keasikan
rawat tamannya di depan.” Keduanya masih nampak canggung.
“Kemarin
Gea ke sini. Dia minta aku jangan nemuin kamu lagi,” ucap Jeny.
“Aku
tahu. Semalam aku putus dengan dia.”
“Apa?”
Sean
pun bercerita tentang kejadian ia putus dengan Gea semalam. Mantannya itu
membuatnya muak. Terlebih saat ia tahu Gea habis datang ke rumah Jeny dan
membuat keributan.
“Perasaanku
ngga bisa kusembunyikan lagi, Jen. Hmm ... sejujurnya kaulah wanita yang aku
cintai. Bahkan sebelum aku mengenal Gea.”
Mendengar
pengakuan Sean, Jeny hanya tersenyum.
“Aku
tahu.”
“Hah?
Sejak kapan?”
“Saat
pertama kali kamu cerita tentang mimpimu. Sebenarnya aku pun memimpikanmu.
Hanya saja jalan ceritanya yang berbeda.”
“Jadi?”
“Saat
kamu jadian dengan Gea aku sangat sakit hati. Bahkan aku pikir kita tidak akan
bertemu lagi. Tapi saat kamu bilang tentang mimpimu itu, juga saat kamu bilang
kalau Gea ngga tahu tentang mimpi itu aku semakin yakin kamu juga suka sama
aku,” jelas Jeny.
“Sakit
hati? Juga suka?” Sean mengulang apa yang diucapkan Jeny sambil tersenyum.
“Emm
... maksudnya ...”
“Mungkin
inilah maksud dari mimpiku itu. Aku bahkan melukaimu lebih dalam dari tusukan
pedang-pedangku dalam mimpi.” Keduanya pun tersenyum mengetahui perasaan mereka
sama.
“Tadi
kamu bilang, kamu juga memimpikan aku kan? Bagaimana cerita di dalam mimpimu
itu?” tanya Sean.
“Oh
... itu ... “ Mendapat pertanyaan itu membuat muka Jeny memerah. Mana mungki ia
menceritakan pada Sean bahwa dari awal ia sudah tahu kelanjutan dari mimpi
laki-laki itu? Jeny akhirnya hanya tersenyum membuat Sean semakin penasaran.
Kini kau datang padaku. Tak hanya lewat
mimpiku, tapi kini benar-benar nyata di hadapanku.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)