Minggu, 01 September 2013

Dream


“Aku mimpi lagi,” ucap Sean, “kali ini aku benar-benar melihat wajahku dalam mimpi. Dan itu memang aku, Jen!” lanjutnya.
Jeny yang duduk di sampingnya hanya bisa mendengarkan. Ia bahkan tak tahu harus bilang apa lagi. berkali-kali ia mengatakan kalau mimpi yang dialami Sean hanyalah bunga tidur belaka. Tapi untuk saat ini ia sendiri jadi berpikir tentang arti dari semua mimpi laki-laki di sampingnya.
“Apa Gea tahu?” tanya Jeny.
“Tidak. Aku bahkan malu menceritakan mimpi-mimpi itu padanya. Aku tak ingin dia berpikir aku laki-laki penakut yang hanya karena mimpi sampai uring-uringan seperti ini.”
Gea adalah kekasih Sean. Mereka jadian baru dua bulan lalu. Tapi keduanya sangat jarang terlihat jalan berdua, malah Sean lebih sering menghabiskan waktunya dengan Jeny. Wanita yang ia anggap sahabat.
Tentang mimpi laki-laki itu, ia melihat seseorang dengan pakaian bagai prajurit kerajaan tengah menghunus pedangya. Tak hanya sampai di situ, pedang yang terhunus itu akhirnya tertancap pada perut seorang wanita dengan pakaian serba putih. Saat pertama kali bermimpi, Sean hanya melihat kejadian itu dari jauh.
Kemudian mimpi yang sama kembali menghampirinya. Dan dalam mimpi berikutnya ia melihat kalau dirinyalah sang laki-laki yang menghunuskan pedang tersebut. Dua mimpi pertama ia memang menganggapnya bunga tidur saja. tapi kemudian ia bermimpi lagi dan lagi. Hingga ia coba menceritakan semuanya pada Jeny.
“Tapi ... hanya wajahku yang aku lihat. Entah siapa wanita yang aku bunuh itu.” Suara Sean terdengar bergetar.
“Aku pun tak bisa berkata apa-apa lagi,” ucap Jeniy, “kantung matamu semakin bengkak saja ditambah warna hitam di sekelilingnya,” lanjutnya.
“Haruskah kita ke paranormal saja?” tanya Sean. Akibat mimpi-mimpi itu ia sangat takut tuk memejamkan mata. Jeny diam mendengar pertanyaan itu. Haruskah seperti itu? Pikirnya.
***
“Inilah persembahanku padamu ratuku. Darah wanita ini akan menjadi bukti betapa besarnya cintaku padamu.” Laki-laki dengan baju besinya tersebut memberi hormat pada wanita di hadapannya.
“Baiklah! hukumlah ia sebagaimana mestinya. Aku tidak ingin ada penghianat yang mengacaukan istana ini. Sekalipun itu adalah temanmu sendiri,” ucap wanita yang dipanggil ratu tadi.
“Baik ratuku.”
Kembali benda tajam itu keluar dari tempatnya. Berburu mangsa yang sudah disiapkan. Dan ... ces ... darah kembali mengalir.
“Tidak ... tidak ... tidaaaaaaakk!”
Teriakan itu berasal dari kamar Sean. Ia kembali bermimpi. Mimpi yang sama, dan kembali dengan wajahnya sebagai pembunuh, juga wajah lain yang sangat ia kenali. Wajah kekasihnya, Gea.
***
 “Apa maksudmu tidak bisa? Bukankah kemarin aku sudah minta kamu menemaniku belanja?” ucap Gea kesal. Ia sudah berencana membeli tas baru untuk diperlihatkan pada teman-temannya. Ia bahkan sudah jauh-jauh hari merencanakannya dan meminta Sean mengantarnya.
“Aku tidak bisa, Ge. Semalam aku ngga tidur, bahkan malam-malam sebelumnya juga. Aku sangat lelah.”
“Pacar macam apa kamu? Harusnya kamu menemaniku. Aku dengar kemarin kamu ketemu lagi dengan Jeny.”
“Jadi sekarang kamu memata mataiku, ha?” tanya Sean dengan kesal.
“Untuk apa coba? Harusnya kamu bersyukur jadi pacarku dan mau jalan bareng aku. Bukan malah bermesraan sama ... gadis kampung itu.”
“Apa?”
“Dengar baik-baik! Kalau kamu masih mau jadi pacar aku, jangan bertemu gadis kampung itu lagi. Paham?” ucap Gea sebelum pergi.T inggallah Sean dengan amarah yang berkecamuk dalam dadanya.
***
Sekali lagi mimpi buruk itu mendatanginya. Bahkan lebih sadis lagi. Dengan jelas ia lihat pedang itu menancap di perut wanita berbaju putih. Lalu perlahan noda darah bertebaran pada baju yang ia kenakan.
Tampak pula wajah Sean sendIri di sana. Tersenyum namun dengan pandangan kosong. Ada yang salah dengan wajahnya, harusnya ia tersenyum puas. Bahkan mungkin tertawa, ia telah menjalankan tugasnya. Juga memperlihatkan betapa ia sangat kuat.
Melihat wajahnya sendiri, ia jadi semakin yakin itu dirinya. Seorang pembunuh. Tak tahan lagi, ia pun pandangi sosok yang kini berlumuran darah.
Jeny?
***
Pagi itu Sean sangat terburu-buru keluar dari rumahnya. Biasanya ia akan memilih melanjutkan tidurnya yang tertunda. Tapi hari itu ia dengan cepat menyambar kunci motor, memacu motornya sekencang mungkin. Tujuannya satu, rumah Jeny.
Sesampainya di sana ia dapati pintu rumah terbuka lebar. Saat berjalan masuk yang ia dapat adalah kesunyian.
“Jen!” teriaknya.
“Jen! Kamu dimana?”
“Jeny!”
Nihil. Hanya suaranya yang saling bersahutan akibat pantulan. Ia semakin tak sabar. Ia sudah sering main ke tempat sahabatnya itu makanya ia pun tahu letak kamar Jeny. Tanpa pikir panjang lagi ia pun naik ke lantai dua.
“Jen!”
Masih tak ada yang menjawab panggilannya. Ia sudah berdiri di depan kamar Jeny. Pintunya terbuka sedikit. Sean pun masuk.
“Ngapain kamu?!” teriak Jeny, ia sangat kaget melihat kehadiran Sean apalagi dalam kamarnya.
Bukannya pergi, Sean malah berjalan ke arah Jeny lalu kemudian memeluknya erat. Sangat erat.
“Kamu ngga apa-apa kan?” tanyanya penuh kekhawatiran. Jeny mendorong tubuh Sean agar menjauh.
“Kamu kenapa sih. Aneh-aneh aja deh! Mana masuk kamar orang sembarangan pula, ini tuh kamar cewek.”
Mendengar ucapan Jeny, barulah Sean sadar akan perbuatannya. Kekhawatirannya berganti rasa malu yang sangat.
“Aku tunggu di bawah ya!” ucapnya lalu pergi.
“Aneh! Ada apa lagi dengan anak itu. Kemarin ceweknya yang datang marah-marah, sekarang dia yang datang langsung main peluk aja. Eh ... peluk?” Jeny bicara sendiri saat Sean sudah pergi. Ia rasakan hatinya kembali bergejolak.
Butuh lima belas menit bagi Jeny untuk menenagkan dirinya sendiri sebelum menemui Sean.  Saat berjalan ke ruang tamu pun ia masih sempat bolak balik keluar masuk kamarnya. Tapi ia samperin juga laki-laki yang tadi membuatnya kaget setengah mati.
“Kenapa?” tanya Jeny sok cuek.
“Maaf, Jen. Aku pikir kamu kenapa-kenapa. Semalam aku mimpi lagi dan ...”
“Dan kenapa?”
“Wanita yang aku bunuh dalam mimpiku itu adalah kamu. Karena hawatir aku langsung ke sini. Aku kira benar  terjadi sesuatu, soalnya saat sampai tidak ada siapa-siapa. Rumah kamu juga terbuka.”
“Oh ... itu si bibi lagi belanja di depan, tadi pamit kok. Rumah ngga ditutup paling ibu yang lupa,  lagi keasikan rawat tamannya di depan.” Keduanya masih nampak canggung.
“Kemarin Gea ke sini. Dia minta aku jangan nemuin kamu lagi,” ucap Jeny.
“Aku tahu. Semalam aku putus dengan dia.”
“Apa?”
Sean pun bercerita tentang kejadian ia putus dengan Gea semalam. Mantannya itu membuatnya muak. Terlebih saat ia tahu Gea habis datang ke rumah Jeny dan membuat keributan.
“Perasaanku ngga bisa kusembunyikan lagi, Jen. Hmm ... sejujurnya kaulah wanita yang aku cintai. Bahkan sebelum aku mengenal Gea.”
Mendengar pengakuan Sean, Jeny hanya tersenyum.
“Aku tahu.”
“Hah? Sejak kapan?”
“Saat pertama kali kamu cerita tentang mimpimu. Sebenarnya aku pun memimpikanmu. Hanya saja jalan ceritanya yang berbeda.”
“Jadi?”
“Saat kamu jadian dengan Gea aku sangat sakit hati. Bahkan aku pikir kita tidak akan bertemu lagi. Tapi saat kamu bilang tentang mimpimu itu, juga saat kamu bilang kalau Gea ngga tahu tentang mimpi itu aku semakin yakin kamu juga suka sama aku,” jelas Jeny.
“Sakit hati? Juga suka?” Sean mengulang apa yang diucapkan Jeny sambil tersenyum.
“Emm ... maksudnya ...”
“Mungkin inilah maksud dari mimpiku itu. Aku bahkan melukaimu lebih dalam dari tusukan pedang-pedangku dalam mimpi.” Keduanya pun tersenyum mengetahui perasaan mereka sama.
“Tadi kamu bilang, kamu juga memimpikan aku kan? Bagaimana cerita di dalam mimpimu itu?” tanya Sean.
“Oh ... itu ... “ Mendapat pertanyaan itu membuat muka Jeny memerah. Mana mungki ia menceritakan pada Sean bahwa dari awal ia sudah tahu kelanjutan dari mimpi laki-laki itu? Jeny akhirnya hanya tersenyum membuat Sean semakin penasaran.
Kini kau datang padaku. Tak hanya lewat mimpiku, tapi kini benar-benar nyata di hadapanku.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)