Jumat, 20 Juli 2012

Suara-suara yang Hilang

Makassar, 20 Juli 2012.
Seharian ini tak begitu tenang. Kepala tak juga mau berkompromi. Disaat sebahagian ummat islam sudah berada dalam lingkaran menahan lapar, haus, dan hawa nafsu aku malah berusaha menahan sakit di kepala. Juga suhu tubuh yang terus saja panas. Ramadhan yang benar-benar beda.
Teringat  ramadhan-ramadhan sebelumnya. Saat malam pertama tarawih kami sekeluarga berjalan ke masjid untuk shalat berjamaah. Habis itu setelah pulang ibu akan melanjutkan pekerjeaannya, memasak ayam untuk sahur. Aku turut membantu, namun tidak sampai selesai. Aku akan duluan tertidur. Ibu yang menyelesaikan semuanya.
Saat sahur aku dan adik-adikku akan dibangunkan bapak. Kalau ibu yang bangunkan jarang kami anak-anaknya terbangun. Malah memperbaiki tidur kami. Namun jika bapak yang bangunkan, tak ada yang berani tinggal-tinggal. Nikmatnya masakan ibu di awal sahur tak aku rasakan saat ini.
Setelah sahur, jika masih ada waktu kami akan di ajak bapak langsung berudhu untuk mulai mengaji sebelum azan subuh berkumandang. Tak jarang sambil mengaji kami malah tertidur lagi. Hahaha ... saja sungguh menyenangkan.
 Setelah panggilan shalat subuh terdengar kami ke masjid bersama-sama. Setelah itu melanjutkan tadarrus. Ya! Tiap ramadhan kami sekeluarga berlomba tuk khatam Al-Qur’an. Bapak, ibu, dan adik-adikku yang memang sudah bisa mengaji.
Ada juga kegiatan yang rutin bapak anjurkan pada kami. Yakni tampil mengaji, atau ceramah di depan umum setelah tarawih. Aku sendiri bersyukur akan hal itu. Sebab darinyya aku jadi tidak terlalu kaku di depan umum saat berbicara.
Tapi semua itu tak terasa awal ramadhan ini. Suara ibu yang minta dibantu masak, suara ayah yang membangunkanku untuk sahur. Suara-suara mengaji setelah sahur dan shalat, semuanya tak terasa. Semalaman aku menangis karena itu. Sekarang malah mataku yang bengkak.
Belum lagi yang terdengar suara terikan anak-anak pemilik rumah yang aku tempati. Mereka malah berkelahi, menangis. Menambah pusing kepalaku. Dan tentu aku akan bilangg lagi, “Aku ingin segera pulang.”
Ini berat bagiku karena pertama kali. Namun aku akan berusaha sabar lalu menunggu waktu yang tempat. Waktu untuk bertemu dengan keluargaku tercinta. Di bawah naungan atap rumah kami yang sederhana. juga kembali mendengarkan suara-suara merdu tiap anggota keluarga. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)