Sabtu, 11 Februari 2012

Diary Keluh dan Rindu

10 Februari 2012

            Akupun lelah, saking lelahnya yang ada dalam hatiku hanya keluhan duka tentang nasib yang ditakdirkan untukku. Akupun sadar, kejadian demi kejadian yang aku alami tak seberapa di bandingan penderitaan banyak orang di luar sana. Tapi apa daya? Aku juga manusia biasa, bahkan sangat biasa, hingga syukurpun kadang aku lupakan. Atau bahkan mungkin sererin alpa.
            Ingin rasanya aku marah pada sang Bapak yang selalu mengambil keputusan dalam hidupku, walau lain waktu aku sangat berterima kasih. Tampanya aku tak akan ada. Petuahnya mengalir bagai mata air yang selalu benar di mataku. Amaranhya sering aku lawan kala masih belia. Sekarang, tak sekalipun ia marah padaku, lembut suaranya selalu berkata, “Kamu sudah besar Nak, sekarang lebih baik kita berbicara sebagai teman. Kamu juga sudah tahu mana yang terbaik.” Halus, tapi menikam tepat di hatiku, dan tak kuat rasa lidah menolaknya.
            Lain waktu ia akan bercanda mengundang tawaku yang tak tertahan. Itulah beliau, seorang laki-laki yang membuatku takut, kagum, sayang, cinta. Darinya aku berpikir menginginkan pendamping hidup kelak yang menyerupai sikapnya. Tenang, bijaksana, tegas, dan entah apa lagi. Sungguh sulit melukiskannya.
            Betapa ingin aku bercerita padanya, “Pak, karena keputusan Yang Bapak ambil, hariku tak pernah tenang. Entah apa yang aku inginkan. Aku ingin bebas, tapi tak ingin mengecewakan maumu. Entah pada siapa aku bercerita. Di sini tak ada yang mendengarkan luka hatiku pak.” Tak hanya sampai di situ,  “Pergelangan tanganku sakit lagi Pak, kepalaku selalu sakit, berat menjalar hingga leher dan belakangku. Pak ibadahku sudah sangat lemah, tampa pondasi yang kuat lagi.” Masih banyak yang lain Pak.
            Semua tergantung padaku, dan aku tahu akan hal itu. Tapi tetap, ego tak terelakkan. Rutinitas hariku sungguh membuatku lelah, fisik dan juga jiwa. Tak ada tempatku bercerita, pada siapa? Sahabat? Selalu aku bertanya-tanya apa ia benar-benar ada. Terlalu jauh aku mengganggu Ibu yang juga sedang lelah.
            Walau kini hanya tiga orang adikku yang menemaninya, tapi anak-anaknya di sekolah ada puluhan. Bukan hanya aku yang membutuhkan wanita terindah itu. Dan tak mungkin juga ego kembali kuperlihatkan. Tak terbesit sedikitpun keinginan membuatnya gundah. Aku tahu ia juga rapuh. Penyakit yang beliau alami membuatku sadar ia tak setegar dulu.
            Ibu, tumpah sudah pertahananku selama ini. Mengalirlah sudah sungai kecil di wajahku. Mengingatmu dan kekasih abadimu membuatku semakin sadar, aku sangat membutuhkan kalian. Sungguh aku sangat bodoh jika tak mengirim paket doa tiap saat padamu Ibu, juga dia, laki-laki yang ada di sampingmu.
            Ibu, aku tak punya kekasih tuk berbagi duka. Mengapa? Karena selama hidupku Ibu juga Bapak tak sekalipun menanyakan tentang lawan jenis padaku. Itu cukup membuatku menahan diri. Keyakinanku mengatakan kalian menaruh kepercayaan besar padaku. Apakah aku salah?
            Aku selalu merasa terbebani dengan posisiku sebagai kakak. Bukankah aku harus menjadi contoh tuk keempat adikku. Akupun harus berhasil tuk membantu Bapak membiayai  adikku kelak. Itu juga inginku.  Di lain sisi, tak merasa pantas kiranya jika aku membuat masalah, apa kata adik-adikku nanti? Aku tak ingin karena meniru sifat burukku (jika memang ada), dua orang terkasih dalam hidupku menjadi terbebani. Dengan begitu aku bisa sedikit membantu. Iyakan Ibu?
            Malam ini aku hanya ingin menangis. Tak mungkin menumpahkan luka di depan merekakan Ibu? Dengan menulis ini sedit banyaknya jadi obat untukku, juga rinduku pada Ibu dan Bapak, tak lupa ke tiga prajurit ibu yang lain, si laki-laki gagah yang pendiam, si hitam manis yang cerdas, si putri cantik, dan terakhir kecil yang selalu membuatku rindu.
            Ibu, Bapak sayang... maafkan keluh yang selalu kuperdengarkan, aku ingin kalianlah teman sekaligus sahabatku, tempat berbagiku. Karena aku yakin dengannya tak akan ada rahsia terbongkar, juga sousi tiap maslahku benar-benar bisa teratasi.
            Malam ini, cukuplah....aku kembali menanti esok. Selalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)