Sabtu, 28 Januari 2012

Persaudaraan, Masih Adakah?

Perumpamaan seorang muslim dengan muslim lainnya seperti satu tubuh, jika satu bagian sakit maka semua akan merasakan sakit.”(HR. Buhkhari, Muslim)
 Rasulullah saw. diutus oleh ALLah swt. sebagai rasul terakhir penyempurna agama yang dibawa rasul-rasul sebelumnya. Beliau merupakan mahluk Tuhan yang sudah dijamin masuk surga. Dan tidak kalah pentingnya adalah, pemersatu manusia yang awalnya terpecah-belah. Sehingga persaudaraan ummat Islam lambat laun tampak hingga kuat. Hal tersebut dapat diketahui dalam kisah-kisah yang hingga kini tersebar di mana-mana. Sejarah telah menulisnya. Dan tak dapat dipungkiri hal tersebut memang nyata.
 Tak ada  perbedaan status sebagai pembatas hubungan kekeluargaan ummat islam saat itu. Pemimpin senantiasa berbaur dengan rakyatnya. Kepala Negara senantiasa dipatuhi dan dihormati. Yang  kaya menolong yang miskin. Selalu ada timbal balik dari kalangan mereka, dan saling melengkapi satu dengan yang lain. Tak hanya sampai di situ, mereka, kaum muslimin pada saat  Rasulullah saw. dan para sahabatnya  juga menghormati pemeluk agama lain. Karena tak mengenal  perbedaan-perbedaan ini pulalah, agama islam dengan mudahnya masuk dan berkembang di Indonesia. Dan kini disebut sebagai Negara dengan penduduk mayoritas muslim.
Nah, begitu dijunjungnya rasa persaudaraan pada zaman Rasulullah, sampai-sampai harta, nyawapun rela dikorbankan. Seteguk air minum saja, direlakan untuk sesamanya kaum muslim padahal mereka sama-sama membutuhkan. Saat kaum muhajirin berhijrah ke Medinah, kaum anshar dengan suka rela menerima kedatangan mereka, membiarkan kaum muhajirin untuk tinggal dan menganggap Medinah sebagai tempat tinggal mereka sendiri. Begitu tingginya rasa persaudaraan pada zaman itu. Dengan mudahnya kaum ansar menerima kaum muhajirin, lalu kemudian bersatu.
Saudara dalam artian sempit adalah orang yang mempunyai pertalian darah, dari sudut pandang biologis. Dan jika dilihat dari sudut pandang islam, maka akan lebih meluas lagi defenisinya, karena semua ummat islam bersaudara.
Tapi, yang mengherankan zaman sekarang ini tak jarang, malah orang-orang yang memiliki hubungan darah, saling membenci satu dengan yang lain, tak jarang ditemukan  saudara saling membunuh memperebutkan harta orang tuanya, anak kandung tega membunuh  ayahnya, menzalimi ibunya, atau sebaliknya, ayah yang dengan mudahnya meniduri anaknya sendiri. Dan lebih menyedihkan lagi para pelakunya adalah orang islam.
Jika melihat kondisi islam saat ini, timbul pertanyaan sekarang, berlakukah persaudaraan zaman lslam Berjaya dulu dengan sekarang?? Pertanyaan mudah dengan jawaban yang mudah pula. Yang sulit saat melakukan perubahan.
Orang-orang yang berlalu lalang, ke sana ke mari dengan mobil mewah, rumah-rumah indah laksana membangun surga  dunia, adakah mereka melihat orang-orang kecil di bawahnya?. Pernahkah mereka berfikir untuk berbagi dengan mereka?. Dan berjuta pertanyaan muncul di baliknya.
Berbeda dengan semut, dalam buku karya Harun Yahya, membahas tentang keajaiban pada semut . salah satu kekuasaan Allah swt. menciptakan mahluk-mahluk lain, selain manusia, adalah agar manusia dapat mengambil manfaat padanya. Salah satunya dapat kita lihat pada semut. Mahluk kecil ini senantiasa meninggikan kerjasama, rela berkorban, dan intinya adalah kekeluargaan. Mereka mencari makan bersama, membuat sarang bersama, bahkan saling menolong saat menghadapi gangguan-gangguan. Dan masih banyak lagi aktivitas semut yang begitu mengagumkan. Wajarlah kiranya mahluk dengan jumlah populasi terbanyak ini mendapat kemuliaan dengan dituliskan namanya dalam kitab suci ummat Islam.
            Dan tatkala makhluk Tuhan yang bernama manusia dapat mencontoh sifat-sifat dari sang mahluk kecil tersebut,  maka saat ini kemungkinan munculnya musibah-musibah seperti, kelaparan, kemiskinan, kebodohan, dan beribu-ribu masalah lainnya, dapat teratasi.
Namun, realita yang ada saat ini justru sebaliknya. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Sebahagian orang yang merasa dirinya kaya segala-galanya, tertawa jika di katakan hal demikian. “Masa kita nyontohin semut, yang benar aja, kita mahluk paling mulia kali, mau dikemanain nih otak.” pandangan seperti inilah yang kemudian merusak ummat kita pada akhirnya. Disadari atau tidak, persaudaraan kian rapuh, khususnya persaudaraan ummat islam. Tak dipungkiri antar sesama sendiri saling menghina, menghujat, bermusuhan. Saling menghormati, mengasihi, sudah jarang terlihat.
Makin hari kian marak tindakan kriminal, di sana-sini terdengar jeritan-jeritan tangis kelaparan, teriakan takut akan keadaan. Tak ada rasa saling menjaga, kesibukan pada urusan diri sendiri yang makin meraja. Ditambah pula rong-rongan dari luar Islam yang selalu ingin menghancurkan persaudaraan kaum muslimin, mulai dari misi-misi nyata sampai cara halus sekalipun. Dimana ketelaudanan nabi yang pernah dicontohkan pada ummatnya? Hilangkah ia bagai baju indah berganti baju compang-camping penuh noda? Atau terkuburkah ia bersama serpihan-serpihan puing dunia?.
Mengapa kita masih santai berpangku tangan di tengah ambang kehancuran persaudaraan kita sendiri? Buka mata, akankah penyesalan yang kita ingikan di akhir waktu? Atau melakukan pencegahan sebelum hal-hal tak diingankan terjadi. Semua pilihan ada pada diri setiap individu. Tugas selanjutnya memikirkan langkah  yang akan diambil, lalu bangkitkan lagi rasa ukhuwah islam yang sudah pernah ada.
Masing-masing punya cara menghadapi masalah tersebut. Dan jika  telah punya caranya, itu sangat bagus, namun jika  belum itu yang perlu di pikirkan, A a Gyim, salah seorang uztadz, mengatakan “lakukan 3M”. mulai dari yang kecil-kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini. Selanjutnya tinggal bagaimana merealisasikannya.
Memberi salam misalkan, itu dianggap hal yang kecil, padahal manfaatnya sangatlah besar. Disamping mendoakan saudara sesama muslim, juga akan mempererat tali persauaudaraan, nah, lebih-lebih jika ditambahkan senyum tulus, wah, akan lebih menggugah hati bagi yang menjawabnya. Jikalau memang hanya itu yang dapat dilakukan, dari situ juga kita mulai, karena semua hal butuh proses. Dan yakinlah, berbagi kebahagian kepada sesama senantiasa akan mendatangkan kebahagiaan-kebahagian baru, begitupun dengan berbagi problema hidup, dengan sendirinya akan berkurang, atau teratasi dengan mudahnya.
Satu hal yang penting, jangan mengharapkan seseorang melakukan apa yang kita perintahkan tanpa dimulai dari diri peribadi dulu. Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir juga mencontokan hal ini, beliau yang pertama melaksanakan perintah Allah swt. lalu menyuruh sanak keluarganya, kemudian sahabat-sahabatnya. Dan akhirnya menyebar luas. Begitu pentingnya memulai kebaikan pada diri sendiri dulu, karena merupakan suatu penilain juga, dan yang paling penting merupakan contoh bagi orang lain.
“Nantilah,”
“Bentar,”
“Tunggu bulan depan deh,”
“ Atau tahun depan aja ya”
“ Ah masih muda nih, ntar aja pas udah tua.”
 Dan sederet  alasan perpanjangan waktu lain yang terucap, atau tersimpan dalam hati, merupakan penghambat terlaksananya sebuah keinginan. Berawal dari niat memang, tapi bukan berarti niat yang terulur-ulur, karena Jika yang ada hanya penunda-nundaan maka akan menanti juga penyesalan tanpa akhir. Jika tidak melakukan perubahan sekarang, kapan lagi. Lebih cepatkan lebih baik, kata salah seorang tokoh politik Indonesia.
Menunggu bukti yang lebih besar untuk bertindak, sama saja membiarkan sebuah penyakit berkembang biak, dan pada akhirnya melumpuhkan diri. Bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati. Walau kenyataan yang ada penyakit renggangnya persaudaraan itu sudah tampak, setidaknya langsung ditangani dengan pengobatan yang ampuh. Itu jika keadaan ummat muslim sekarang diandaikan sedang terjangkit penyakit.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujarat:10). Salah satu firman Allah swt. dalam Al Qur’an merupakan bukti bahwa tiap-tiap orang Islam itu bersaudara, yang ikut merasakan penderitaan, rasa sakit yang dialami sesamanya, dan senantiasa saling menolong, dan berdamai saat ada perbedaan pendapat. Nabi Muhammad saw. telah mencontohkannya dengan para sahabat beliau dan pengikut agama islam di masa lampau.
 Kini generasi pelanjut ajaran agama Islamlah yang mengambil alih untuk melanjutkan ajaran agama yang dibawa oleh putra Abdullah tersebut. Termasuk menjaga persaudaraan islam. Membangkitkannya kembali dari keterpurukan, dan membangunkannya kembali dari tidur panjangnya, hingga Islam kembali berjaya di atas persaudaraannya yang utuh. Tidak pincang lagi, tapi benar-benar berdiri tegak. Setegak batu karang di tengah amukan ombak laut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)