Menjadi seorang mahasiswa adalah cita-cita dari
penulis, dan dengan rasa sukur yang tak terhingga hal itu akhirnya terwujud
kini. Masuk ke salah satu perguruan tinggi suasta di kota Makassar, yang pada
awalnya hanya hayalan semata.
“Masuk ke Universitas Muhammadiyah Makassar adalah hal
yang sangat sulit,” Ucap salah seorang dosen saat mengajar di kelas yang
penulis tempati, “Lihat saja, sebelum masuk terlebih dahulu melalui
perguruan-perguruan negeri terlebih dahulu.” Lanjutnya diikuti derai tawa seisi
kelas. Sindiran halus sebenarnya. Pilihan terakhir mungkin bagi kebanyakan
orang, tapi anggapan tersebutlah yang yang sebenarnya salah. Di sini takdir
Allah swt. yang berbicara. Jadi bukan karena itu merupakan pilihan terakhir,
hanya saja merupakan tempat terakhir mendaftarkan diri, kalaupun di awal
pendaftaran UMM. Merupakan tempat pertama yang di tempati mendaftarkan diri,
karena memang sudah tercatat akan berkuliah di tempat itu oleh Sang Pemilik
jagad raya, maka terjadilah ia.
Memilih dalam hidup adalah hal yang lumrah terjadi.
Salah satunya memilih dimana tempat yang paling bagus untuk menimba ilmu
pengetahuan, berdasarkan mutu, ekonomi
dan pertimbangan-pertimbangan lain sebagai pendukung pilihan, walau tak
selamanya pilihan yang dituju selalu berhasil, namun yakinlah itu adalah yang
terbaik, karena Sang penentu baik buruknya sesuatu, bukan manusia, tetapi,
Pemilik manusia.
Lalu apa hubungannya dengan judul di atas?
Sebenarnya tak ada hanya mengawali saja. Dan penulis
rasa itu tak masalah.
Belanja, siapa yang tidak menyukainya. Pemenuhan
kebutuhan salah satunya dengan berbelanja, kebutuhan dapur, sekolah, kantor,
beribadah, dan aktivitas-aktivitas lain banyak yang diawali dengan berbelanja.
Sebahagian besar anggapan mengatakan wanita adalah penghabis uang terbesar,
maksudanya tukang belanja yang paling hebat, secara kasat mata memang iya, tapi
bagaimana denagan laki-laki? Mungkin ada juga yang memiliki kebiasaan
berbelanja menyerupai wanita. Tapi hanya sebahagian kecil, atau hanya tak terlihat
langsung? Jawabannya ada pada diri para laki-laki. Bukan perbandinagn nafsu
belanja laki-laki dan perempuan yang jadi masalah disini.
Ada yang lain?
Tentu saja.
Jika pendidikan menjadikan yang tidak tahu menjadi
tahu, lantas apa bedanya denagan belajar? Atau belajar adalah bahagian dari
pendidikan, bisa juga. Intinya kedua hal tersebut saling terkait satu dengan
yang lain. Keduanya diikat oleh sistem yang berlaku.
Lalu apa hubungannya dengan belanja?
Banyak, belajar tak akan berlangsung dengan baik tanpa
ada media pembelajaran di dalamnya, tentu saja, nah, dari mana medianya? Tentu
saja diperoleh dengan berbelanja.
Masalahnya terletak dimana?
Sekarang ini marak-maraknya pembayaran memasuki
semester genap, tak dipungkiri juga di sana-sini juga terdengar permintaan
kiriman kepada orang tua masing-masing. Dari yang tak pernah menghubungi orang
tuanya, tiba-tiba begitu gencar menelfon ke rumahnya. Dari yang tahunya
menggombal kekasihnya, kemudian begitu pandai merayu ibunya, yang sudah punya
penghasilan tinggal tersenyum-senyum, atau yang dengan kerja keras berusaha
mengumpulkan uang semester sebelum batas yang di tentukan tiba. Dan memang
kewajiban orang tua untk menyekolahkan anaknya.
Tak ada yang salah, uang datang pembayaran lunas.
Selesai. Yang jadi masalah adalah kiriman datang, tanggung jawab tidak lunas.
Uangnya kemana?
Berbelanja, itulah masalahnya, manusia sering kali
lalai. Kewajiban diabaikan begitu saja, amanah dilupakan dengan mudah. Uang
yang seharusnya dipakai untuk melunasi biaya kuliah digunakan sesuatu yang tak
ada gunanya. Dan sekiranya ada gunanyapun tetap saja salah, karena tujuan
awalnya bukan itu. Dan salah satunya dengan membelanjakan yang seharusnya untuk
biaya kuliah.
Akibatnya?
Tujuan awal belajar dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku, temasuk syarat pembayaran, namun berakhir di tempat-tempat
perbelanjaan. Berujung dengan penumpukan utang pembayaran, yang mengakibatkan
pemberhentian kuliah, dan tentunya berakhir dengan penyesalan. Penyesalan
memang selalu di akhir perkara.
Yang dilakukan setelahnya?
Kembali menjadi penerus orang tua, menggarap sawah,
atau itu yang diingikan?
Bukankah orang yang paling celaka jika harinya kemarin
lebih baik dari keadaanya hari ini? Orang tua yang sudah berprofesi sebagai
seorang petani, penggembala, seharusnya anaknya bukan sebagai pelanjut orang
tuanya, namun lebih berada di atas orang tuanya.
Goresan pena penulis,
Jika kita sebut patah hati adalah hal yang sangat
menyksa,
Ternyata tak sebanding dengan rasa sakit saat sadar,
Atas kebodohan kita yang terus-menerus merepotkan
orang tua,
Membuat mereka kecewa,
Menyadarinya terasa membuat seluruh persendian tulang
tak menyatu,
Pikiran tak karuan, hati tak menentu
Dan air mata yang mengalir tiada henti,
Sangat sakit, sangat menyiksa…
MAKA AKANKAH KITA KEMBALI MENGULANG HAL
YANG SAMA??
Kembalipada diri kita masing-masing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)