Senin, 30 Januari 2012

Belajar atau belanja?



Menjadi seorang mahasiswa adalah cita-cita dari penulis, dan dengan rasa sukur yang tak terhingga hal itu akhirnya terwujud kini. Masuk ke salah satu perguruan tinggi suasta di kota Makassar, yang pada awalnya hanya hayalan semata.
“Masuk ke Universitas Muhammadiyah Makassar adalah hal yang sangat sulit,” Ucap salah seorang dosen saat mengajar di kelas yang penulis tempati, “Lihat saja, sebelum masuk terlebih dahulu melalui perguruan-perguruan negeri terlebih dahulu.” Lanjutnya diikuti derai tawa seisi kelas. Sindiran halus sebenarnya. Pilihan terakhir mungkin bagi kebanyakan orang, tapi anggapan tersebutlah yang yang sebenarnya salah. Di sini takdir Allah swt. yang berbicara. Jadi bukan karena itu merupakan pilihan terakhir, hanya saja merupakan tempat terakhir mendaftarkan diri, kalaupun di awal pendaftaran UMM. Merupakan tempat pertama yang di tempati mendaftarkan diri, karena memang sudah tercatat akan berkuliah di tempat itu oleh Sang Pemilik jagad raya, maka terjadilah ia.
Memilih dalam hidup adalah hal yang lumrah terjadi. Salah satunya memilih dimana tempat yang paling bagus untuk menimba ilmu pengetahuan,  berdasarkan mutu, ekonomi dan pertimbangan-pertimbangan lain sebagai pendukung pilihan, walau tak selamanya pilihan yang dituju selalu berhasil, namun yakinlah itu adalah yang terbaik, karena Sang penentu baik buruknya sesuatu, bukan manusia, tetapi, Pemilik manusia.
Lalu apa hubungannya dengan judul di atas?
Sebenarnya tak ada hanya mengawali saja. Dan penulis rasa itu tak masalah.
Belanja, siapa yang tidak menyukainya. Pemenuhan kebutuhan salah satunya dengan berbelanja, kebutuhan dapur, sekolah, kantor, beribadah, dan aktivitas-aktivitas lain banyak yang diawali dengan berbelanja. Sebahagian besar anggapan mengatakan wanita adalah penghabis uang terbesar, maksudanya tukang belanja yang paling hebat, secara kasat mata memang iya, tapi bagaimana denagan laki-laki? Mungkin ada juga yang memiliki kebiasaan berbelanja menyerupai wanita. Tapi hanya sebahagian kecil, atau hanya tak terlihat langsung? Jawabannya ada pada diri para laki-laki. Bukan perbandinagn nafsu belanja laki-laki dan perempuan yang jadi masalah disini.
Ada yang lain?
Tentu saja.
Jika pendidikan menjadikan yang tidak tahu menjadi tahu, lantas apa bedanya denagan belajar? Atau belajar adalah bahagian dari pendidikan, bisa juga. Intinya kedua hal tersebut saling terkait satu dengan yang lain. Keduanya diikat oleh sistem yang berlaku.
Lalu apa hubungannya dengan belanja?
Banyak, belajar tak akan berlangsung dengan baik tanpa ada media pembelajaran di dalamnya, tentu saja, nah, dari mana medianya? Tentu saja diperoleh dengan berbelanja.
Masalahnya terletak dimana?
Sekarang ini marak-maraknya pembayaran memasuki semester genap, tak dipungkiri juga di sana-sini juga terdengar permintaan kiriman kepada orang tua masing-masing. Dari yang tak pernah menghubungi orang tuanya, tiba-tiba begitu gencar menelfon ke rumahnya. Dari yang tahunya menggombal kekasihnya, kemudian begitu pandai merayu ibunya, yang sudah punya penghasilan tinggal tersenyum-senyum, atau yang dengan kerja keras berusaha mengumpulkan uang semester sebelum batas yang di tentukan tiba. Dan memang kewajiban orang tua untk menyekolahkan anaknya.
Tak ada yang salah, uang datang pembayaran lunas. Selesai. Yang jadi masalah adalah kiriman datang, tanggung jawab tidak lunas. Uangnya kemana?
Berbelanja, itulah masalahnya, manusia sering kali lalai. Kewajiban diabaikan begitu saja, amanah dilupakan dengan mudah. Uang yang seharusnya dipakai untuk melunasi biaya kuliah digunakan sesuatu yang tak ada gunanya. Dan sekiranya ada gunanyapun tetap saja salah, karena tujuan awalnya bukan itu. Dan salah satunya dengan membelanjakan yang seharusnya untuk biaya kuliah.
Akibatnya?
Tujuan awal belajar dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, temasuk syarat pembayaran, namun berakhir di tempat-tempat perbelanjaan. Berujung dengan penumpukan utang pembayaran, yang mengakibatkan pemberhentian kuliah, dan tentunya berakhir dengan penyesalan. Penyesalan memang selalu di akhir perkara.
Yang dilakukan setelahnya?
Kembali menjadi penerus orang tua, menggarap sawah, atau itu yang diingikan?
Bukankah orang yang paling celaka jika harinya kemarin lebih baik dari keadaanya hari ini? Orang tua yang sudah berprofesi sebagai seorang petani, penggembala, seharusnya anaknya bukan sebagai pelanjut orang tuanya, namun lebih berada di atas orang tuanya.
Goresan pena penulis,
Jika kita sebut patah hati adalah hal yang sangat menyksa,
Ternyata tak sebanding dengan rasa sakit saat sadar,
Atas kebodohan kita yang terus-menerus merepotkan orang tua,
Membuat mereka kecewa,
Menyadarinya terasa membuat seluruh persendian tulang tak menyatu,
Pikiran tak karuan, hati tak menentu
Dan air mata yang mengalir tiada henti,
Sangat sakit, sangat menyiksa…
MAKA AKANKAH KITA KEMBALI MENGULANG HAL YANG SAMA??
Kembalipada diri kita masing-masing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)