Kamis, 16 Oktober 2014

Menjemputmu: Ketika Tidak Percaya



Foto by: Meira's Art
Jangan tanya bagaimana perlakuan Al  Habib padaku. Kau pasti tidak akan percaya. Aku saja tak mempercayainya. Seluruh panca indraku seakan sulit menerima perlakuan darinya. Bukan karena dia jahat, bukan! Sebaliknya ... dia terlalu baik.
Atau inikah jeratan yang melenakan itu? Yang banyak membuat wanita terpedaya lalu menangis darah?
Entahlah ...
Aku pernah menanyakan itu padanya. Kau tahu apa jawaban darinya? Dngan tangis tertahannya dia bersumpah atas nama Pencipta, bahawa dia tidak akan meninggalkan aku.
Aku gadis dengan ke-pe-de-an bermasalah, yang minder karena keadaan fisik, yang merasa tidak memiliki kelebihan, gadis yang terlahir dalam perasaan kecil. Dengan perasaan seperti itu aku hanya mampu mencintai tanpa pernah merasakan balasan rasa yang sama. Bagiku, cinta adalah sepihak. Cinta adalah kesendirian dalam kekaguman dan kerinduan.
Pun pemikiranku tentang cinta sepihak sedemikian dalamnya, aku tetap saja jatuh dan jatuh pada virus berwarna merah muda itu. berkali-kali pada luka yang sama. lelah? Jangan kau tanya, saking lelahnya aku sampai berpikir, nasib perasaanku hanya begini saja.
Toh, aku punya keluarga yang begitu penyayang bukan?
Lalu perlahan Al muncul. Tak kupercaya bisa banyak bercerita padanya pun tak secara langsung. Hobi yang sama menjadi penyebabnya keakraban kami.
Butuh waktu yang lama. Butuh deretan bulan yang panjang. Al yang dulu aku tatap sekilas saja, sebab aku tak pernah merasa bisa sejajr dengannya, sekarang malah mengatakan kata-kata yang hanya ada dalam mimpi malamku.
“Apa yang kamu lihat dari dirku? Tak ada yang spesial, tak ada yang bisa aku banggakan,” ucapku beberapa kali. Dalam tangis.
“Orang lah yang menilaimu, kamu baik sangat baik, terutama untukku,” ucapnya.
Dari jarak berkilo kilo meter, aku sangat tahu matanya juga basah. Jelas terbaca dari suaranya yang serak.
Ketidak percayaanku nyatanya tak menyulutkan rasa di hatinya. Al gigih. Berkali-kali kuminta menyudahi semuanya. Berkali-kali juga aku menangis karena kata-kataku tak pernah sejalan dengan keinginan hatiku. Aku juga telah jatuh dalam rasa yang begitu dalam padanya.
“Aku ingin kita sudahi saja.”
“Karena kamu tidak percaya cintaku?”
Aku terdiam.
“Aku memang belum bisa apa-apa, Nda. Aku belum bisa memintamu pada orang tuamu, tapi jangan tinggalkan aku. Aku tidak akan pernah bisa melepasmu.”
Begitualah ... kami selalu menangis bersama, entah siapa yang selalu memulainya. Ah, Al memang berhati lembut. Dan aku semakin sering memujinya.
“Tunggulah, aku akan ke rumahmu,” ucapnya.
Dadaku tentu bergemuruh karenanya.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Aku ingin bertemu orang tuamu, aku juga ingin tahu penilaian mereka tentang.”
“Hanya itu?”
“Dan untuk meyakinkanmu!” tegasnya.
Tak pernah ada teman-temanku yang datang ke rumah. Jarak yang jauh serta jalan yang tidak bagus jadi penyebabnya. Hal lain yang memang jadi masalah utamanya adalah, aku tidak mengizinkan.
Dari sekian banyak temanu, Al adalah yang paling gigih meminta untuk berkunjung. Bahkan jauh hari sebelum hati kami berwarna cinta.
Al datang ...
Benar-benar datang. Dia berdiri di depan rumah kami. Rumah panggung sederhana.
Jangan tanya perasaanku. Aku tetap tidak percaya.
Lalu kau masih bertanya-tanya ... bagaimana perlakuan Al padaku?
Aku pun tak bisa percaya.

Bersambung*



2 komentar:

  1. jiiah.... nunggu lanjutannya Na... kira-kira happy ending kagak ya... hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Doakan happy ending, jangan kayak cerpen2ku yang lain akhirnya selalu galau membahana. uhk! makash sudah mampir kak.

      Hapus

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)